Alarm Tubuh
Terbiasa hidup teratur, sekalinya tidak teratur maka tubuh yg menjadi alarm.
Aku belum mengenali apa yang terjadi akhir-akhir ini dalam tubuhku, dalam pikiranku, dalam perasaanku. Awal Agustus ini seakan semua menunjukkan versi yang lain, versi yang belum pernah kukenali.
Aku menemukan pikiranku dalam keadaan bimbang. Dihadapkan pada situasi yang membuatku mengambil keputusan yang berbeda dengan apa yang kuucapkan. Padahal aku sedang murojaah as shaf yg isinya Allah gak suka sama org yang mengatakan sesuatu yg tidak dikerjakan.
Aku menemukan diriku dalam balutan perasaan yang menumpuk, membuncah, dan saling berperang. Tidak nyaman dalam kenyamanan, kenyamanan dalam ketidaknyamanan. Merutuki diri atas perasaan kasihan pada orang lain. Aku tidak mengerti. Berkali-kali tergaung dalam pikiran kalimat seorang teman padaku, “jangan terlalu baik suci”. Apa baik itu salah? atau aku yangterlalu bodoh dan tidak tahu kebutuhan diri sendiri? Mengutamakan orang lain?
Aku lelah sekali mencari tempat tinggal baru. Aku lelah sekali menahan gerutu dalam diri karena tidak nyaman di rumah sendiri. Aku kasihan pada batinku yang tidak tega pada orang lain tapi diri sendiri korbannya.
Berapa banyak rumah kusinggahi, kulihat, kupastikan apakah aku bisa hidup disana. Semakin kucari, semakin kurasa rumah saat ini adalah tempat terbaik yang kubutuhkan. Tapi apa daya, aku sangat tidak nyaman dengan keadaan ketika teman rumahku membawa suaminya. Dia sakit, dia tidak bisa hidup sendiri maka dari itu dia mencari teman untuk hidup di perantauan ini. Aku tahu, aku sungguh tahu rasanya berjauhan dengan keluarga. Aku tahu tertekannya perasaan ketika sakit dan sendirian di rumah. Tapi aku sungguh tidak bisa mengatur emosiku, kesabaranku, ketika orang lain keluar masuk rumahku. Kucari dan kuketuk pintu rumah satu demi satu, bahkan kutemukan rumah yang belum sempurna jadi. Aku temukan pula rumah yang persis berdekatan dengan teman kantor, yang justru membuatku merasa lebih membahayakan hati karena dia laki-laki, memudahkan lebih banyak hijab terbuka.
Pikiran tertekan, hati tertekan, badan tertekan. Sepertinya mulai tumbang. Sepagi ini aku bangun terlambat, semalam tidur larut. Perut tidak bisa diajak berkompromi. Pagi-pagi kemarin kupaksa makan, siang pun begitu, meskipun mual sekali rasanya. Sorenya seakan mereka naik ke atas tenggorokan. Gas dalam perut rasanya seperti bermain-main, kadang naik kadang turun. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuhku. Dan lalu periode bulanan datang dan rasanya menjadi semakin rumit. Bergerak sakit, tidak bergerak juga ototnya sakit. Kurasa perlu kuhentikan sejenak pencarian rumah ini.
Zidna bilang, selesaikan satu persatu. Sebelum tubuhku ikut tumbang, terlebih dahulu hatiku yang tumbang pada hari minggu kemarin. Kukatakan pada zidna banyak sekali hari itu. Penuh sekali pikiranku, hingga berdiri pun rasanya berat dan bergoyang kepala ini. Kuceritakan dengan terisak, betapa aku lelah melawan ketidaknyamananku di rumahku sendiri, betapa aku kaget mendapati lingkaran yang seharusnya nyaman justru menjadi lingkaran yang menggores hati, betapa hal itu merembet pada pikiranku, pada janjiku yg pernah kuucap, pada keputusan2 yang kuambil akibat dari rentetan ini semua. Aku bersyukur, sungguh. Diatas masalah yang kuhadapi, aku terlebih dahulu menyelesaikan masalah hubunganku dengan Quran. Itu melegakan. Setelah itu masalah lain datang, tapi aku rasa tidak lebih berarti dari hubunganku dengan quran. Aku merasa ruhiyahku baik-baik saja, aku masih bisa berdiri tegak meskipun perasaanku acak-acakan, badanku sakit jika bergerak berlebihan, pikiranku lompat sana sini. Benar, aku lebih tangguh meskipun memang masalahnya tidak hanya satu.
Lingkaran yang sempat menggores kemarin, benar kata zidna. Mereka tidak menanggapi dengan perasaan emosi lagi, mereka tidak menyalahkanku ataupun keadaan, merekapun bukan melupakan seakan tidak terjadi apa apa, mereka tidak lari dari masalah. Justru tanganku disambut dan aku direngkuh dengan permintaan maaf lahir batin. Ah, betapa malu diriku. Sehari sebelumnya aku sangat gemetar, bingung harus bersikap apa pada kak Hani setelah kejadian memojokan di grup. Bagaimana caraku meminta maaf, atau menanggapi maaf ka Hani. Hari hari dimana itu terjadi, tinggi sekali emosiku. Kukatakan aku tidak perduli dan tidak butuh pada lingkaran itu. Tidak butuh pada penjagaan itu. Ingin membatasi diri dan tidak ingin terlibat lebih jauh. Tapi zidna benar, Sarbia benar. Di titik itu, akhirnya kusadari. Aku lebih menyayanginya daripada emosi sesaat itu. Hari itu, beliau sendiri yang memanggilku, mengulurkan tangan permohonan maaf. Adik macam apa aku ini. Kak Hani meminta maaf terlebih dahulu. Kak Hani tidak pura2 baik-baik saja, sungguh kak Hani menyelesaikan perselisihan kami dengan cara yang dewasa. Kesimpulanku, kami lebih menghargai takdir Allah mempertemukan kami daripada perselisihan sesaat. Kami lebih mengharapkan tarikan kuat di akhirat yg membawa kami ke surga, aku kelu.
Sejauh ini, mungkin itu dulu hikmah yang bisa kupetik.
Saat ini masih sakit, masih belum menemukan rumah, masih tidak tahu jadi pindah atau tidak. Tapi perlahan sepertinya membaik, aku hanya sedang mengenali diriku sendiri. Aku hanya belum tahu treatment apa yang pas ketika aku sedang seperti ini. Aku hanya sedang membaca prioritas dan nilai apa yang sebenar-benarnya kupegang ketika keadaan membuatku memilih.
InsyaAllah, sementara.
Aku perlu lebih sering menuangkan seperti ini. Aku perlu menyadari bahwa sedih senang ini cara Allah untuk membuatku terus berbicara denganNya.