Allah with you and me too, kamu tidak sendiri
Hari ini dia menatapku beberapa kali, mengajakku bicara beberapa kali. Tapi aku tidak memberikan pandanganku padanya, seperti yg dulu kulakukan. Aku rasa aku tidak perlu menjelaskan atau meluruskan apapun. Kubiarkan kebingungan dan rasa bersalah mungkin akan menyelimutinya. Atau setidaknya ketidaknyamanan hadir menggantikan kenyamanan yang dulu ada. Kubiarkan banyak hal hilang sekaligus, itupun jika dia menyadarinya. Aku akan membantunya menghilangkan salah satu opsi yang bisa dia pilih, aku bukan pilihan. Aku keluar dari lingkaran kenyamanannya. Aku akan membuat jarak, jarak yang sangat jauh sampai dia tidak bisa lagi menjangkauku meskipun orang lain mampu melakukannya dengan mudah. Ingin kutunjukkan lukaku, tapi aku lebih memilih untuk menunjukkan diriku yang kuat tanpanya.
Iya, hal yang kemarin terjadi memang manis dan membahagiakan. Tapi hal itu hanya milikku, hanya perasaanku, bukan miliknya, perasaannya. Dia bersikap seperti itu pada banyak wanita, tidak akan sanggup aku untuk melihatnya dan bertahan, sampai kapanpun itu.
ya Allah, aku sangat bahagia menjalaninya kemarin. Tapi sudah, aku sudah tidak ingin menjadi bodoh lagi.
silakan, silakan berkenala. Lanjutkan pencarian, kukatakan padanya dengan tenang di atas motor yang melaju membelah jalanan tepi pantai di bawah langit jernih berbintang malam itu. Silakan lanjutkan pencarian. Tapi jika nanti dirimu tidak menemukan orang yang bisa menerimamu, kuharap kamu ingat dulu ada orang yang menerimamu tapi kamu lepas begitu saja. Saat ini orang itu sudah membalikkan badannya, melangkah pergi menjauh dan semakin jauh, kini bahkan dia tengah berlari dengan air matanya. Kamu mungkin tidak akan menemukan orang dengan ketulusan hati seperti itu lagi.
Sungguh aku tidak bisa. Nyatanya aku tidak bisa. Selama ini aku berpura-pura baik-baik saja menerima kebaikannya, kuberikan pula kebaikan padanya dengan berlebihan, membanjirinya dengan banyak hal yg kupunya untuk menutupi perasaanku sendiri, mematikan perasaanku sendiri dengan cara meninggikan bayanganku padanya sebagai teman. Dia benar-benar kumasukkan dalam hidupku seperti seorang teman yang begitu dekat, untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya padanya. Aku berlari darinya agar tidak terlihat, seakan akan aku bersembunyi tepat dibalik badannya. Tapi nyatanya, itu salah. Perbedaan atas perasaan memang setipis itu. Nyatanya semua itu menggerusku perlahan hingga hampir habis dayaku untuk tetap terlihat baik-baik saja. Mungkin beberapa bulan bisa kuterima kebaikannya, tapi sudah tidak bisa kulakukan hal yg sama padanya, memberikan kebaikanku kembali padanya tanpa ada perasaan yang menyertainya seperti yang kulalui setahun terakhir ini. Tapi kini, bahkan mungkin perlahan aku sudah tidak bisa lagi dengan jernih menerima kebaikannya.
“Tidak apa, tidak usah berteman dulu. Kamu perlu jarak suc. Kalau belum bisa saat ini, gapapa banget. Semangat ya ci, sebatasnya aja. Semoga lancar. Allah with you and me too.”