Angin

Invisible Adventure
2 min readFeb 23, 2022

--

Hampir saja, sungguh hampir saja kuberikan. Ini baru pada tahap ‘terbiasa’, tapi aku sudah begitu berlebihan merasakannya. Benar sekali, hadir dalam pandangan, pendengaran, pikiran, membuat sesuatu menjadi benar-benar terasa kehadirannya. Seperti itulah murojaah, kan?

Tapi dari semua ini, aku seakan mengerti bahwa aku sedang lemah. Pertahananku lemah. Yang datang hanya hembusan angin, bukan badai topan tapi aku sudah lunglai.

Hingga akhirnya angin itu bahkan yang membuat pintuku bergerak menutup, memperkecil celah untuk angin lebih banyak masuk. Baik sekali bukan? Kebaikan yang akhirnya kusadari bahwa sebenarnya angin itu tidak berniat masuk.

Dan bahkan bukan hanya angin hembus, lebih ringan dari itu datang dan aku tetap masuk angin! Bak tiupan dari mulut saja, dia setipis itu tapi aku masuk angin! Artinya aku yang lemah sekali bukan? Ini benar-benar tidak realistis. Aku terlalu membuka jendela dan pintuku lebar-lebar. Menoleransi umur yang sudah hampir menginjak waktunya, juga waktu yang semakin diperbolehkan untuk seseorang datang, juga satu dua topik dari mamah dan teman yang membuatku mendeklarasikan bahwa sudah saatnya aku membuka pintu.

Nyatanya, pintu itu bahkan membuatku sakit dan menggigil karena terlalu menganalisis bentuk rasa baru yang hadir, terlalu sibuk menduga maksud dari sikap tanpa ucap dari satu dua orang. Dan kini, sudah. Sudah dengan jelas bahwa orang itu tidak ada niat sama sekali.

Pintu-pintuku kurang terjaga akhir-akhir ini. Masih saja senang melihatnya update story, mengetahui sedikit kegiatannya hari ini, juga perasaannya, atau bahkan suaranya mengaji. Membuatku menyimpan doa di malam hari, membisikkan ingin padaNya, membawa sebuah nama. Entahlah justru dengan itu aku semakin bermunajat dan mencintai kalamNya. Tapi jujur itu sangat mengganggu kekhusyukan waktu-waktu berduaku dengan Allah. Dan lalu orang lain, yang sama sekali tidak menarik hati, justru mundar mandir dalam hari-hari, dalam pengelihatan, dalam pendengaran, membuatku bersimpati pada apa yang dirasa dan dijalani. Ah, ini pula kelemahanku. Tidak tega, tidak kuasa, ingin hadir tapi tidak terikat. Dan justru aku merasa mempermainkan perasaanku sendiri dengan ini, dan rasanya justru aku menyadari bahwa diriku hanyut didalamnya. Rasanya melemahkan jiwa. Dua sosok ini memberatkan hatiku Ya Allah, bahkan sudah kupinta padaMu untuk membersihkan mereka dari hati. Dan kini.. ya… benar. Sepertinya mereka benar-benar hilang. Aku harus segera memenuhi lagi hatiku denganMu. AKu takut, sungguh takut dan lemah :(. Aku tahu aku sedang sakit cinta ya Allah, dan aku ingin melakukan apapun untuk mengobatinya. Dan aku tertegun ketika menyadari bahwa obatnya ya menikah, atau puasa. Puasa. Puasa.

Kututup pintuku perlahan, kututup tirai jendela. Silakan masuk dengan cara yang baik, mengucapkan salam lalu mengetuk. Bukan menciptakan riuh angin dan badai diluar.

--

--

Invisible Adventure
Invisible Adventure

Written by Invisible Adventure

0 Followers

read more, know more

No responses yet