Dari Tulisan Terbangun Peradaban
Itu judul seminar yg kuikuti ahad lalu, dengan kak rezky sebagai teman sharingnya. Darisana dapat beberapa point dan jembatan pemahaman.
Bagaimana kita bisa melanjutkan kejayaan generasi sebelumnya tanpa perlu merangkak dari nol? Ya, meneladani hikmahnya.
Value yang sudah ada di generasi sebelumnya itu dapat diwariskan dengan tulisan, diikat dengan tulisan.
Kalau terlalu jauh, bisa kita lihat dari yang dekat seperti orang tua. Value hidupnya yang tidak habis menjadi pelajaran itu terus saja menjadi kado indah untuk kita sebagai anak.
Value hidup yang membentuk kita dan terlalu sayang jika hanya berhenti di kita, jika hanya kita simpan sendiri.
Beberapa hal kita rasakan dan kita maknai, mungkin suatu saat nanti akan hilang jika tidak diikat. Berencana ditulis ketika sudah ada waktunya, ketika sudah mumpuni, kekita sudah lebih dewasa.
Ah, jangan-jangan belum tua sudah tidak bisa berbagi, siapa yang tahu kan?
Sepertinya kumpulan hikmah yang tertangkap itu bisa kita bungkus dan menjadikannya kado terbaik untuk anak di masa depan.
Apa yang terpikirkan jika kau bertemu dengan kakekmu atau sosok yang sudah cukup berumur? Atau apa saja yang ingin kita tanyakan bertemu sosok seperti Kartini?
Seorang guru bahasa dalam pertemuan pekanan saat itu membuatku berpikir, betapa pintarnya profesi ini mengambil “keuntungan yang tidak akan habis”.
Jika kuposisikan diri menjadi bapaknya, dalam usia yg sudah tidak muda beliau memilih cara praktis untuk meraih keuntungan yg terus mengalir. Dalam usia yang membuat pergerakan terbatas, bagaimana cara menurunkan value yang sepanjang hidup dikumpulkan untuk menjadi hikmah bagi orang lain?
Ya, dengan menuangkannya, mengajarkannya. Menanamkan modal yang akan menjadi investasi akhirat.
Jadi beruntung sekali beliau, dalam waktu dan kekuatan yang tak lagi berpihak padanya, beliau sudah mengajarkan ilmunya, seakan menggali sumur pahala yg akan terus mengalir selama ilmu itu digunakan.
Eh tapi, betapa beruntung pula orang yg mendedikasikan dirinya mengajar diawal usianya, karena waktunya habis untuk menggali banyak sumur pahalanya di akhirat.
Selama Kartini menulis isi pikirannya, tidak banyak yang melirik tulisannya. Tetapi ketika tulisan itu disyiarkan, barulah cahaya yang setitik itu menjadi armada penyelamat dari kegelapan menuju cahaya.
Aku rasa guru yg sebenarnya, bukan hanya seseorang berlabel sarjana pendidikan dan mengajar di kelas.
Guru sejati adalah dia yang bertekad untuk selalu mengisi dan menuang. Mengisi cawan pemahaman yang tidak pernah berhenti kehausan meskipun diisi dengan mata pelajaran yang sama. Ia selalu bisa menemukan sudut pandang baru yang melengkapi pemahaman. Pembelajar sejati yang bahkan dalam proses menuang justru dia menemukan pembelajaran baru yg membuat pemahamannya tidak berhenti pada titik.
Selamat menjadi pembelajar sejati, para kartini masa kini :)
Menjadi pembelajar dimanapun, untuk menemukan cahaya dariNya, cahaya yang kita butuhkan untuk menerangi hati kita.
“Ya Allah, pancarkanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam pengelihatanku, cahaya dalam pendengaranku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku. Dan anugerahkan kepadaku cahaya”