Gunung Pertama
“Nanti kamu jadi seksi dokumentasi ya, cik”,katanya sore itu. Selepas rapat malam kemarin yang mempertemukan enam belas kepala untuk membahas satu tujuan.
Latihan dasar yang kami lalui berpekan-pekan lamanya, juga berbagai tes yang menguji kepahaman dan latihan yang mempersiapkan fisik sudah tertinggal di belakang. Akhirnya, kami sampai pada titik pembuktian. Memegang kendali sebuah kegiatan, merancangnya dari titik nol, membuktikan bahwa kami memahami materi yang sudah diberikan. Ekspedisi, kami menyebutnya demikian.
Gunung itu bernama Manglayang, terletak di Jawa Barat tepatnya diantara Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang. Dekat dengan Universitas Padjajaran. Terjangkau dari rumahku. Artinya, rumahku otomatis akan menjadi basecamp kami (rombongan Jakarta) di Bandung.
Kami melakukan advance terlebih dahulu. Advance adalah kegiatan dimana beberapa orang dari seluruh panitia akan menggali informasi sebanyak mungkin dari gunung tersebut. Tim ini akan mengumpulkan informasi berupa jalur pendakian, jadwal-jadwal penting yang terkait, harga masuk, fasilitas, kemudahan akomodasi dan transportasi, wilayah dan tempat untuk mendirikan tenda, dan yang terpenting cuaca serta sumber air.
Tim advance berisikan 6 orang. Empat laki-laki dan dua perempuan. Mas Fadhil dan Mas Cong, yang paling tua diantara kami. Lalu Indra dan Fachrul, teman laki-lakiku dan perempuannya aku, juga Anisa. Kami berangkat dari Jakarta. Aku dan Anisa menaiki bus yang biasa kupilih ketika akan pulang, dengan rute Jakarta-Garut yang melewati Bandung sedangkan empat teman laki-laki lain lebih memilih menggunakan dua sepeda motor, mempercayakan pada gmaps untuk melewati rute Puncak-Cianjur-Purwakarta-Cimahi. Sudah bisa ditebak bukan? tim laki-laki lebih ber-effort. Mereka berlelah-lelah di perjalanan malam itu sedangkan aku dan Anisa sudah bersih-bersih dan berbaring nyaman di kamar ketika mereka baru saja tiba -dengan wajah yang sepertinya amat sangat lelah. Keesokan harinya baru aku dan Anisa diceritakan bahwa mereka berempat menemui kekonyolan yang menegangkan semalam. Bertemu dengan bapak-bapak yang emosi lalu terkena pukulan telak. Huft, bisa-bisanya!
Tapi keesokan harinya, Bandung menyapa dengan semangat yang menggebu. Tidak lama untuk sampai ke kaki gunung Manglayang, hanya sekitar 45–60 menit perjalanan motor dari rumahku. Kami melalui hamparan kebun teh di samping jalan yang meliuk. Udara dingin semakin menyadarkan bahwa tujuan sudah semakin dekat.
Kami sampai di depan gerbang. Sebuah bangunan bernuansa kayu yang tenang itu menyapa kami, membuat kami sedikit melihat-lihat. Sepertinya mas-mas sedang bertanya ini dan itu, pun Anisa yang sudah lebih lama dan berpengalaman karena sebelumnya tergabung dalam sispala. Entahlah Fachrul dan Indra, aku lupa mereka dimana. Sedangkan aku? melihat-lihat saja, hehe. Lebih tertarik pada papan besar berisikan sejarah gunung ini. Ternyata amat menyimpan sejarah. Kupandangi lagi puncak itu, melihat betapa gagahnya ia dari bawah sini.
Tingginya 1.818 mdpl. Seharusnya tidak akan menjadi masalah untuk seseorang yang sudah sering mendaki, atau orang yang sudah terbiasa melatih kekuatan otot. Tapi bagiku, itu menakutkan. Membaca catper yang mengatakan bahwa gunung ini memiliki trek yang berbatu besar itu membuatku semakin merasa pasrah. Yasudahlah, jika sudah lelah bilang lelah. Jika sudah tidak kuat, bilang saja. Jangan mempersulit diri sendiri. Pada akhirnya aku mendapat keringanan, untuk tidak ikut membawa logistik. Punggungku terbebas dari tas gunung yang berat itu.
Gunung itu cantik. Bagian bawahnya dikelilingi pohon pinus yang berjajar dengan jarak teratur, ramah sekali pada pengunjung. Tenda-tenda kecil yang sepertinya digunakan untuk kegiatan semi alam, seperti camping asyik yang bisa membawa serta keluarga. Lalu untuk pendakian yang sebenarnya, jalurnya ada di samping kiri dari wilayah tenda-tenda itu. Jalur kecil dan melipir yang bermula dari jajaran pohon pinus, berlanjut dengan trek bukit menanjak yang dipenuhi semak belukar di sana-sini, lalu pepohon satu jenis yang sudah kulupa apa jenisnya. Lalu seterusnya, seterusnya, hingga sampai di puncak.
Kecil-kecil cabe rawit, gunung kecil yang dari awal trek hingga puncak menyajikan pemandangan yang indah. Rasanya seperti bonus setiap saat. Aku menyelidik sendiri, apa iya bisa dibilang bonus setiap saat tetapi kenyataannya bahkan tidak ada ruang pemberhentian barang sejenak? Dari awal trek sampai puncak memang menyajikan pemandangan yang indah, tapi dari awal trek hingga puncak pun tidak ada tempat beristirahat. Memang adil, ya?
Pada akhirnya, mengasyikan sekali menaiki gunung ini tanpa beban. Tanpa beban dan tuntutan apapun maksudnya, haha. Sepanjang perjalanan Anisa mengajariku cara menggambar jalur, menandai objek penting yang bisa dijadikan patokan -tetapi tetap saja tidak kumengerti meskipun sudah berkali-kali kucoba coretkan itu di kertas dengan kapasitas kecerdasan spasial yang amat sangat minim. Anisa menjadi definisi perempuan tangguh yang kutemukan saat itu. Sepanjang perjalanan kulihat Mas Fadhil yang terus menerus bicara, memikirkan tujuan dan agenda kegiatan yang akan dilakukan. Sepanjang perjalanan kulihat Indra yang -aneh. Aneh dan lucu, selalu lengkap perjalanan jika ada dia. Manusia yang membuatku memiliki role model, seperti ini ya anak pecinta alam, pecinta alam lahir batin. Batin yang bebas. Akhir-akhir ini aku baru menyadari dia selalu ada, atau setidaknya mencoba ada untuk kami, ea. Sepanjang perjalanan pula aku merasa heran, ada juga ya ternyata tipe laki-laki yang begitu narsis di depan kamera! Tetapi setelahnya, banyak sekali kutemukan tipe-tipe seperti ini. Yasudahlah, memang Mas Cong dibekali kemampuan ber photo genic. Sepanjang perjalanan, ternyata aku jarang sekali mendengar suara Fachrul. Dia terlampau diam, diam, diam. Memegang kompas, menikmati perjalanan, kuat dan sepertinya berpikir, berpikir dan berpikir.
Dan turun gunung menjadi momen yang lebih mengasyikkan. Membalikkan badanmu dari beban tanjakan yang melelahkan, lalu berganti dengan turunan yang ada di hadapanmu. Menuruni dengan kecepatan langkah setengah berlari, setelah diajarkan Mas Cong bagaimana cara turun dengan baik ketika trek yang dihadapi hanya ada akar-akar dan batu-batu (nanti kuberitahu triknya!). Belum lagi, ternyata pemandangan turun lebih indah! Bahkan ketika kita sampai di camping ground, tepat sekali matahari terbenam, menyisakan guratan merah-jingga-ungu-nila yang keindahannya tidak terjelaskan. Kami terpaku melihatnya.
Sejak saat itu, momen turun gunung sangat membahagiakan bagiku. Selain karena treknya yang menurun, juga karena motivasi akan segera sampai di bawah. Nanti-nanti, kalau panjang umur dan sempat, akan kuceritakan betapa melihat es teh di tengah jalur gunung Gede menjadi motivasi terbaik untuk turun dengan cepat!
Sekian.
#30DWCJilid28
#Day8
#ManglayangMountain
#ExploreBandung