Ibu yang Membentukku
Aku tumbuh dalam dekapan banyak sekali ibu. Yang melahirkanku jelas hanya satu, tetapi yang merawatku hingga sebesar ini, tidak terhitung jumlahnya. Munculkan saja dalam benakmu, sesosok wanita karir berseragam yang setiap hari menjemputku ketika matahari perlahan meredup. Ia datang bersama seseorang yang sama asingnya saat itu, yang menyebut dirinya bapak. Sosok wanita karir itu bahkan sempat tidak kukenali jika datang tanpa seragamnya. Suatu hari aku menangis sejadinya ketika sepasang kekasih itu menjemputku dengan motornya yg bersuara khas. Ketika kudapati sosok itu berbusana lain, aku enggan sekali berhambur dalam peluknya. Hingga akhirnya beliau mengganti lagi pakaiannya, baru aku siap dijemput. Kini kuingat lagi memori itu, sungguh ingin kukatakan pada bocah kecil perempuan yg jarang tersenyum itu betapa dia sangat merepotkan ibunya yg letih sepulang kerja.
Sosok lain muncul dalam benak. Ialah wanita paling tua di rumah panjang ini. Seiring waktu aku benar merasakan bahwa beliaulah jantung rumah ini. Rambutku dielus dan disisir, diberi wangi-wangi dan segera beliau berpesan “jangan dipotong pendek ya teh, biarin aja panjang”, yg sejak saat itu kujadikan wasiat sepanjang masa, melekat pada benakku bahwa rambut anak gadis yg bagus adalah berwarna hitam dan panjang. Pada akhir abad 19 itu, dua bayi tumbuh merangkak bersamaan, aku dan sepupuku, panggil dia mawar. Mawar dan aku berbagi banyak hal, seperti cinta dan kasih sayang. Yang paling kuingat adalah nasi goreng wortel keju kesukaanku, yang dibuatkan dengan cinta oleh ibunya. Kami juga berbagi perhatian seluruh sanak saudara, berbagi buah mangga yg dibawa paman berwajah bersih dan tegas selepas pulang kerja, menduduki motor bibi tangguh yang membawa kami ke sudut Bandung dan bertemu banyak tante yg ia kenalkan sebagai temannya, berbagi paha kaki kakek yg saat itu sangat nyaman kududuki untuk bersama sama meminum susu sambil menonton ninja warior, atau juga menari bersama dengan serial tv india ketika nenek menyetrika. Masa kecilku bahagia di rumah panjang kakek nenek. Ialah paman termudaku, yg selalu mengecek pertumbuhan hidungku tiap kali aku datang berkunjung. “Bisi lebih gede dari mang haha”, katanya, untuk segera kupercayai dan kucek pula ukuran hidungku, padahal itu hanya caranya untuk menutupi kegemasannya padaku. Lambat laun hidungku sudah tak lagi disentuhnya karena aku sudah paham hidungku normal normal saja.
Rumah asliku, disamping rel kereta. Rumah ini tempat dimana motor bapak tertuju, berhenti di teras rumah setelah melewati tatanan bunga melati. Dipagi hari ia akan menjadi penyenang hati mama karena wanginya sungguh harum semerbak, nanti akan kuceritakan tentang mama dan melati. Di malam hari, entah kemana kami bertiga pergi, tetapi aku selalu ingat bahwa yang kulihat adalah terangnya bulan di malam hari yang cerah. Kutunjuk-tunjuk bulan itu dan bertanya pada bapak, apakah dia tetap disana? mengapa dia seakan mengikuti? hingga sepertinya bapak bosan karena aku terus bertanya. Kami pulang ke rumah dan sepertinya yg kuingat adalah tahu Sumedang hangat diatas meja dan serial wayang yang tengah disaksikan mereka berdua. Saat itu perut mama membesar dan aku ditanya siapa nama yg bagus untuk kuberikan pada calon adikku itu. Dan aku lupa menjawab apa.
Bayi itu lahir ditengah gelap, ditengah tangisanku yg terkaget kaget setelah mama panik dan memintaku mencari Mbah, ayah mama. Saat itu sepertinya bapak sedang bekerja dan entah bagaimana ceritanya, suasana sudah berubah menjadi rumah panjang- lagi, ya, aku memang selalu disimpan disana. Yang teringat lagi adalah ketika bayi itu tertidur di ranjangku, nyenyak dan tanpa gangguan. Hingga usianya 3 tahun, sepertinya aku tidak pernah tidak menyentuh pipinya saat dia tidur, dan lalu dia terbangun dan menangis. Buru buru kupanggil mama dan memasang wajah tak berdosa, kembali menonton tv. Bayi itu tidak pernah lepas dari mama, bahkan kini dia menjadikanku musuh nomor satu di rumah. Menangis dan menganggapku bukan teman hanya karena aku tidak tahan untuk memegang rambutnya yang halus dan kepalanya yang dipenuhi kulit kering, ingin sekali kubersihkan. Aku kakak yang baik kan? haha. Kenyataannya, ketika dia sudah setinggi pundakku, kami mewarnai ru. ah dengan adu guling setiap mama tak memperhatikan.
Dan lalu aku berseragam abu. Muncul pula sosok ibu yang menjadi teman bicara mama selama ini, ibunya mama, Mbah. Mbah bisa bicara panjang dan lama seperti keran mengalirkan airnya. Dulu aku tak dengar semuanya tapi kusadari saat ini bahwa itu semua adalah doa. Rokku masih abu ketika Mbah mewarnai hari disela tugas fisika dan biologi. Aku tidak pernah melihatnya kelelahan. Rumah tidak pernah terlalaikan, masakannya selalu lezat dan sangat memaksa perut untuk menyediakan tempat lebih luas, dan wajah Mbah cantin sekali pada figura yang dipasang di ruang depan. Yang kuingat adalah caranya menyambut tamu, seakan semua dikeluarkan, yang enak dan pantas disajikan. Teman temanku sampai tidak lupa akan sosoknya yang diam diam sering mendengarkan percakapan kami, padahal jelas yg kami bicarakan adalah rumus matematika dan jenis kayu jika tugas prakarya. Memang begitu, Mbah selalu menjaga dan awas. Semua itu membuatku berpikir bahwa Mbah putriku pastilah sesosok perempuan dominan ketika muda, yang tidak membiarkan dirinya terlihat lemah karena harus menopang kehidupannya dan adik2nya yang banyak. Hingga suatu hari kudapati bahwa cahayanya meredup setelah bunga kesayangannya layu, bunga pertama yg sangat cantik dan harum. Lalu beberapa waktu setelahnya, Mbah sering menceritakan bagaimana kehidupan budeku yg sederhana. Kehidupan wanita cantik yang diidamkan banyak pria. Yang kuingat darinya hanyalah ketegaran, matanya lelah namun senyumnya tetap merekah. Dan sepertinya dialah anak Mbah yang Mbah dengar masukannya, mematahkan dominasi Mbah di rumah. Adapun sosok yang sangat ceria dan energik,
Sesungguhnya banyak sekali warna yang perempuan-perempuan di sekelilingku tuangkan pada kanvas putihku. Seakan aku hanya menyimak dan menjadi saksi hidup perjuangan mereka.
Dan lalu entah mengapa seakan saat ini sosok sosok itulah yang doanya menjadi anak tangga dalam hidupku. Yang Alhamdulillah sampai saat ini masih bisa kupeluk, meski sedang berjauhan.
you are beloved,mom. Muasal dan muara kasih sayang.