Melampaui Batas Diri
Aku tidak pernah lupa, betapa pengapnya ruangan lantai dasar di kampus biru itu. Berjejer motor yang setiap pagi mengisi, lalu perlahan berkurang bersamaan dengan datangnya sore. Hilir mudik mahasiswa melewati, pun tidak sedikit yang membawa sepeda. Setiap kendaraan yang datang membuat kerangka besi saluran air dibagian bawah itu bersuara ketika dilewati, suaranya khas sekali. Pak satpam duduk tenang di kursinya, sesekali mengitari basement untuk mengecek kondisi. Bapak yang setiap pagi memberikan senyum ramahnya pada siapapun. Beliau mungkin tidak tahu, pada beberapa pertemuan, senyum ramahnya itu menyelamatkan suasana hati mahasiswa yang berkesempatan berpapasan dengannya, setelah melewati malam-malam panjang penuh rumus dalam kepala, atau hari-hari yang berlalu dengan diskusi rumit dalam rapat. Basement selalu menjadi titik dasar yang dilalui, jika kamu membawa kendaraan.
Tapi aku tidak menyangka, ditempat itulah keringatku mengalir deras. Seluruh badanku bergerak dan berfungsi seakan selama ini tidak pernah digerakan dengan maksimal hingga titik itu. Aku merasakan berada di titik terendah batas diri. Hingga segelas air putih tawar begitu melegakan, duduk bersandar dan meluruskan kaki begitu dinantikan, atau sekadar waktu sholat yang selama ini sepertinya sering sekali dilakukan dengan terburu-buru, menjadi waktu beristirahat yang ditunggu-tunggu. Waktu sholat yang sangat dinantikan. Seakan dunia membuatmu lelah selelah lelahnya, tapi selalu ada waktu untuk berhenti sejenak. Lima kali sehari.
Seperti sebuah gunung, ketika sudah mencapai puncak kita akan turun lagi bukan? Proses melelahkan dalam bentuk apapun sama, tidak akan selamanya. Kita hanya mencapai titik terujung itu sebentar sekali, untuk turun dengan sangat melegakan. Lalu setelahnya, kita tahu sejauh apa kemampuan diri. Kita mendobrak batas yang kita buat sendiri. Kita melawan kelelahan itu, untuk menemukan definisi kelelahan yang baru. Juga definisi bentuk syukur yang baru.
Saat itu, aku tahu aku lelah. Tapi jauh setelahnya, kelelahan itu hilang. Berganti dengan pemahaman bahwa selama kita hidup, kita akan terus berlelah-lelah. Basement itu mengenalkanku dengan lelah, lalu kami terbiasa dengannya.
Seorang kakak mendekat, lau duduk diantara barisan kakak-kakak lain yang berjajar rapi didepan kami. Diantara banyak kakak yang berbicara, hanya dia yang bersandar di belakang. Ternyata dia tertidur. Hampir merasa lucu beberapa detik, bisa-bisanya suasana mendebarkan seperti ini dia tertidur. Tapi bertahun kemudian, setelah berada dalam posisinya, baru kusadari betapa lelahnya menjadi dirinya. Kuat sekali orang-orang di hadapanku saat itu. Mereka dibentuk untuk menjadi tangguh, fisik juga hatinya.