Mengenalnya
Aku sedang sakit. Tapi sebentar saja. Sebentar lagi, aku tahu sebentar lagi akan segera pulih.
Dari banyak sekali hal dan kejadian yang tengah dilalui, entah mengapa semuanya menjadi seakan terhenti sesaat, seakan membiarkan aku mencerna banyak hal. Aku tahu, saat ini hatiku sedang sakit dan akan segera pulih.
Ini pembelajaran yang mahal, tentang bab penerimaan dan rasa syukur.
Kamu tahu? 5 bulan aku hidup di tanah rantau dan hatiku luluh dengan cepat. aku mencintai semuanya, juga keputusan-keputusan yang kubuat. keputusan yang menciptakan jarak dengan orang-orang yang kusayang, juga membayar mahal semua pertemuan dan rasa. kunikmati setiap pagi dengan hangat mentari, kuukir senyum seperti sayap burung yang terbang melengkapi hari, hatiku teduh dan cerah bagai awan bening disirami sinar pagi. Indah, sungguh indah. Seakan tidak ada hal lagi yang kubutuhkan dan kuinginkan. Aku bisa menikmati semua dalam kesederhanaan, dan hatiku bahagia. Tidak ada mall, tidak ada hiburan. Tapi jernihnya air sungai juga pertemuan dengan orang-orang yang mengingatkanku pada Allah membuat semua ini cukup.
Sudah saatnya aku beranjak, pada kebahagiaan selanjutnya, kupikir begitu. Terucap sekian doa yang tulus dan entah.. seharusnya kusyukuri karena efeknya sedang terasa.
Pada banyak perpisahan dan pertemuan, akhirnya aku paham bahwa semuanya fana, semuanya sementara. Aku sudah menangisi banyak perpisahan sejak corona tiba. Yang cukup pekat adalah ketika moment wisuda membuat kami berpisah tetapi seakan tidak berpisah. Juga tangisan sendu diatas ketinggian dalam pesawat yang membawaku terbang menjauhi tanah kelahiran. Juga perpisahan lain yang menyertai pertemuan. Hingga akhirnya hatiku lelah mencintai dan merelakan. Tapi itu bagus, karena setelahnya aku mengerti bahwa apa apa yang mengisi hati adalah sesuatu yang seharusnya tidak fana. Bahkan seseorang, atau sesuatu, yang kita miliki, atau kita jumpai, sungguh bukan milik kita, hanya titipan. Hingga dalam kepekatan gelapnya kehilangan, juga kepedihan rasa sakit, aku meraba maksud dari semua ini. aku menelisik, seperti apa perasaan yang utuh dan abadi?
Al Qur’an.
Jawabanku adalah ia. Meskipun saat itu aku belum sepenuhnya jatuh cinta, belum sepenuhnya mengenal, belum sepenuhnya memahami, menjadikannya teman dan mengisi hati dengannya.
Lalu kamu tahu? kuinvestasikan waktuku untuknya, cukup banyak, menggeser jadwal dan agendaku lainnya. Waktuku padat tetapi terus bersamanya. Aku tahu kami belum dekat dan aku ingin memulainya. Agendaku berhimpitan, silih berganti. Pagi bertemu dengannya, sore juga terisi olehnya. Semakin dikenal, dia semakin bercerita banyak hal dan luas sekali. Membuatku berpikir akan lama sekali mengenalinya,tapi aku ingin dekat. Buku-buku yang menceritakannya menggeser buku-bukuku yang lain. Dan banyak teman serta pertemuan yang terjadi dengan Al Qur’an sebagai penghubungnya. Ajaib, aku merasa semakin dekat. Seperti dimudahkan untuk dekat.
Suatu hari niatku semakin mantap. Iklan itu menggugah, terlebih ketika aku mendapat pesan singkat khusus dari kak Ruri. Entah mengapa dia ingin aku ikut dengan sangat. Aku tahu panggilan ini tak biasa. Tema surahnya sangat memancing hatiku, sangat pas dengan buku yang kubaca dan perasaan yang tengah kulalui. Aku tak tahu kalau iklan instagram itu akan membawaku sampai sejauh ini.
Dalam kesendirian ditengah kota yang tenang. Dalam dekapan dan ikatan yang kulakukan setiap waktu dengan-Nya, aku semakin merasa menjalani hidup seperti Maryam. Seseorang yang selalu terkoneksi dengan Allah. Seseorang yang terjaga, bersih, tidak tersentuh. Seseorang yang mengabdikan dirinya. Bedanya, aku mengabdikan diri untuk negara. Dan aku menikmati itu. Kubaca buku tentang maryam, kudownload tafsir surahnya. Kudalami betul-betul peran dan perasaannya. Dan kuikuti pembelajaran online dalam suatu komunitas yang membersamaiku dua bulan diakhir tahun 2021 itu. Dan banyak sekali yang berubah dariku setelahnya.
Aku hampir menyerah dengan kendalaku disini. Ialah sinyal yang tak bisa kutaklukkan. Aku membutuhkannya sebagai penghubungku dengan orang-orang itu. Agenda dalam sepekan itu tidak memberi celah utnuk futur. Dan aku kelelahan mengusahakan agar aku tetap terhubung. Ini bukan terhubung dalam artian semangatku datang dan hilang, ini terhubung dalam artian nyata. Sinyal internet. Ini pula yang membuatku ragu untuk mendaftarkan diri. tetapi akhirnya memasuki tahap wawancara, dan kuceritakan kendalaku, kubuka dengan terang dan jelas bahwa aku kesulitan sinyal, bahwa jadwalku tidak pas, bahwa aku lama dalam menghaval ayat. Kuceritakan bahwa aku jatuh cinta pada sosok Maryam dan iklan itu hadir entah bagaimana pada waktu yang tepat, juga pc kak Ruri, juga semuanya yang terasa dimudahkan. Seseorang diujung telfonj mengatakan bahwa dirinya tengah berada di NTB, dia menanyakan beberapa hal padaku tetapi kuanggap dia seperti teman lama yang sudah lama tidak berjumpa. Kukatakan bahwa aku tengah sendirian di suatu kota yang baru kudengar namanya. Kukatakan bahwa aku memang sedang ingin jatuh cinta pada Qur’an. Kukatakan padanya setiap pagi aku perlu hadir di kantor sebelum jam 9 dan pulang jam 4 sore, dan jika aku tidak ke kota, maka selebihnya aku akan di rumah kontrakan yang sulit sinyal. Akupun saat itu tengah diluar rumah, disisi jendela sembari huja gerimis dan angin menerpa karena jika aku masuk ke rumah, nyaris sudah 0 kilobite menyapaku. Dengan ketenangan yang entah bagaimana, perempuan itu membiusku, meyakinkan, mengalirkan kepercayaan. Dan ya.. aku tahu sepertinya ini berat, tapi perjuangan akan segera dimulai.