Menjaga

Invisible Adventure
2 min readMar 15, 2022

--

Awal Maret adalah perjalanan pertama pelatihan distribusi di ibu kota provinsi, Banda Aceh. Tahu rutenya? menyusuri jalan tol sisi pantai sepanjang kabutaen berderet dari selatan menuju utara, sisi kiri provinsi Aceh. CAntik, cantik sekali. Sayangnya perjalanan itu dimulai pada malam hari, jadi ketika mataku terbuka aku sudah berada 1–2 jam dari Banda Aceh, tepatnya di Aceh Jaya dan Aceh Besar, dengan pemandangan yang memukau.

Masih kuingat, saat itu lepas subuh dan mata kami terjaga sepanjang jalan tol Aceh Jaya hingga Banda Aceh, disuguhi jalan mulus kelok naik turun gunung dengan lebatnya pepohonan di kanan dan birunya laut di kiri. Benar-benar biru laut di kiri jalan, seringnya tidak tertutup pepohonan hingga cantiknya jelas terlihat.

Terpaku. Cantik sekaligus menyeramkan menyadari dirimu melewati jalan yang membelah gunung. Melihatnya tegak berdiri memaku bumi. Rimbun, gelap, tua, diam. Pegunungan ini seakan bersuara, seakan ingin mengatakan sesuatu padaku tapi aku tidak mengerti. Lepas subuh itu, aku merasa gunung ingin bicara padaku. Akhirnya kami berdzikir dengan cara masing-masing.

AKu jadi ingat, seorang ustadzahku mengatakan bahwa bumi adalah makhluk Allah berjenis perempuan dalam tata bahasa arab. Dan itu bukan sembarangan, itu mempunyai arti. Gunung, laut, angin, semuanya makhluk Allah di bumi dan sifat bumi adalah memberi kode halus. kode yang hanya bisa dimengerti oleh bahasa kode pula. Entah kenapa, tapi saat itu aku merasakan kodenya. Ketakutan, merinding, merasa kecil dan ingin segera lewat dari tempat itu sekaligus merasakan betapa besar nya gunung itu. Terpesona sekaligus menawan sekaligus menggetarkan hati. Aku merasakan getarannya. Apa ini berlebihan? entah.

Saat itu rasanya tervisualisasikan dalam pandanganku bahwa gunung-gunung ini sudah lama sekali menjadi penghuni bumi. Ia menjadi saksi perjalanan hidup yang panjang sekali dan ia tetap tegar pada tempatnya, berdiri pada tempatnya. Tidak hilang, tidak rusak secara keseluruhan, tidak banyak berubah. Angin-angin memainkan pepohonan, tapi gunung tetap disana. Bisa dibayangkan betapa dzolimnya manusia yang mengutak atik makhluk Allah dan merusak apa yang Allah jaga.

merusak apa yang Allah jaga.

lihat gunungnya kaya apa : https://steemit.com/travel/@alfarisi/fenomena-lembah-semesta-samudra-hindia-yang-mengagumkan-gunung-geurutee-aceh-indonesia

Dan selanjutnya, bumi kembali mengajakku berpikir.
Sampai di banda aceh, kegiatan dilaksanakan, dan malam ahad adalah malam terakhirku disana dalam keadaan sendiri di kamar hotel lantai dua.
saat itu gempa berkekuatan 6 sr mengguncang aceh jaya, lupa tepatnya dimana. tapi itu terasa hingga banda. aku dan nadya sedang di masjid baiturrahman, tapi teman kamarku di kamar dan merasakan getarannya.

Allah membuatku tidak merasakannya, Allah membuat teman kamarku merasakannya.

Terjaga.

Dalam sekian detik guncangan itu, aku terjaga dari kepanikan, kebingungan, keguncangan padahal aku ada pada tempat yang sama. Allah menjaga.

Sepanjang malam kurenungi makna Al Hafidz ini, Allah sebaik-baik penjaga. Allah menjaga bumi tetap pada tempatnya, gunung berdiri tegak dan gagah, laut menyapu dengan lembut, kehidupan berjalan dan nikmatNya selalu tersedia untuk seluruh makhluk.

--

--

Invisible Adventure
Invisible Adventure

Written by Invisible Adventure

0 Followers

read more, know more

No responses yet