Sepersekian Detik

Invisible Adventure
6 min readApr 18, 2021

--

Menurutmu, bagaimana menyadari situasi ketika dirimu terhimpit? Seakan waktu berhenti dalam sepersekian detik.

Hari itu satu ramadhan, dan aku menangis.

Pagi itu seharusnya aku sudah di atas motor dan melaju menuju kantor sebelum pukul 08.00 waktu Indonesia bagian barat. Namun, kendaraan berwarna hitam itu sedang digunakan ayah untuk mengantar ibu karena kebetulan motor itu lebih mudah dikeluarkan dari rumah dibandingkan motor merah ayahku. Terlebih, aku masuk jam 8, masih ada waktu setengah jam mungkin pikir ayah saat itu.

Lagi-lagi hal ini yang tidak kusukai. Tidak menepati janji adalah kesalahan yang membuat hatiku patah. Aku tidak akan mudah percaya setelahnya. terkadang, ayah selalu begitu. Mengatakan A lalu kenyataannya aku harus terpaksa memaafkan karena menurutku tindakan A itu lebih banyak merugikanku. Misalnya, ketika motorku dipakai, seharusnya ia kembali sebelum waktuku habis untuk berangkat ke kantor. Nyatanya, ayah kembali pukul 07.50 lebih. Aku kesal, sungguh kesal. Aku tidak suka cara ayah yang seperti ini, meskipun pada beberapa moment, aku menyadari bahwa akupun seperti itu. Terkadang akupun memaksimalkan hal yang bisa kumaksimalkan, tetapi ternyata merugikan yang lain.

Padahal, dalam kacamata yang lain, bukankah semua barang adalah milik ayahku? motor itu milik ayahku, pun juga diriku. Aku milik ayahku bukan? Aku memerlukan persetujuan dan keridhoannya untuk berangkat ke kantor. Inilah yang luput dalam ketergesaan itu.

Hari itu satu ramadhan, dan aku berangkat dalam keadaan marah yang terbungkam.

Dengan tindakan tergesa, kuputuskan menunggu di depan rumah ketika ayahku sampai selepas mengantar ibu. Buru-buru aku menghampirinya dengan helm dan tas, lalu aku sedikit mengeluh “Ini udah telat”, hingga akhirnya ayah segera turun dari motor dan aku berangkat tanpa mengatakan sepatah katapun setelahnya. Jangankan salam, menatap ayahpun aku tak lakukan. Karena aku yakin aku akan menangis menahan kecewa.

Sudah terbayang jika aku akan terlambat masuk kantor pagi itu. Padahal sudah diberi extend waktu di bulan ramadhan untuk masuk jam 8, aku sungguh tidak bisa dan tidak ingin terlambat. Aku sudah membayangkan betapa kecewanya diriku ketika teman-teman bertanya mengapa aku baru datang padahal rumahku dekat, atau melihat orang-orang sudah siap di kursinya dan menjemput amalannya dengan sempurna tepat jam 8 pagi sedangkan aku terpotong sekian menit. Sudah terbayang bahwa aku tidak bisa menjawab pertanyaan alasan keterlambatanku ketika nanti ditanya bagian administrasi jika itu berkaitan dengan pemotongan gajiku. Ah sungguh aku tidak terlalu khawatir tentang gaji, tetapi aku khawatir dengan kepercayaan yang orang bangun padaku, terlebih kekecewaan pada diriku sendiri. Saat itu, aku benar-benar menggerutu, apakah ayah tidak mengerti? aku hanya tidak ingin kecewa karena tidak menunjukkan versi terbaik, padahal aku sudah berusaha mempersiapkannya.

Pagi itu satu ramadhan, dan aku belajar bahwa persiapanku tidak melibatkan point penerimaan atas rencanaNya

Motor itu melaju dengan cepat, bahkan terlampau cepat. Baru kusadari setelah seorang kakek di teras depannya terheran-heran melihatku lewat, seakan aku melakukan sebuah kesalahan. Aku tidak mengerti saat itu. Yang kutahu, aku menekan gas di tangan kanan sembari melihat jalan dan memastikan tidak mengenai kendaraan apapun. Sangat tidak terasa, aku melewati banyak “prank” di jalan itu dengan lancar dan tidak seperti biasanya. Rasanya seperti menerabas setiap medan dan jalur yang sebelumnya sangat hati-hati kulalui.

Angkutan umum berwarna hijau di depanku membuatku sedikit melepaskan fokus pada jalanan karena jaraknya cukup jauh, aku masih sempat melirik alat ukur kecepatan di bagian depan motor. Ketika kulihat garisnya, ternyata di angka 60–80 km/jam. Sejujurnya aku tidak mengerti batas kecepatan yang seharusnya, tetapi yang kutahu ketika memperhatikan bapak bus yang membawaku dari Bandung ke Jakarta, kecepatannya 60km/jam. Sejenak aku berpikir, apakah terlalu cepat? apakah aku sangat cepat? bukankah garis itu kini di angka 80km/jam? Ah aku tidak terlalu banyak berpikir saat itu, dengan segera kusalip angkutan umum itu dan sampai pada jalanan yang lebih besar.

Pagi itu satu ramadhan, dan pagi itu pagi ter-naas bagiku.

Kamu tahu? Kesalahan besarku adalah mengendarai motor dalam keadaan marah dan berangkat tanpa salam pada orang tua. Dengan kecepatan seperti itu, sudah tahu bukan resiko seperti apa yang ada di hadapanku?

Jalanan bernama kolonel masturi itu lenggang. Hanya sedikit kendaraan yang melaju, tidak seperti biasanya seperti hari-hari kemarin, dimana mobil pribadi hingga truk besar bersanding di jalan yang cukup padat ini. Fokusku tertuju pada motor di depanku yang bergerak sungguh cepat, seakan aku bisa mengikuti kecepatannya. Dan jalanan lancar itu membuatku menekan gas dengan tidak pikir dua kali.

Namun saat itulah, ketika jalanan benar-benar lenggang, justru motor itu mengerem dengan tiba-tiba. Hal itu membuatku syok dan ikut mengerem juga. Terlebih aku sangat kaget ketika alasan motor itu mengerem adalah truk yang tiba-tiba hendak berbelok dari gerbang sebelah kiri jalan. Aku tidak menduga, dengan tiba-tiba truk itu sudah muncul ke tengah jalan. Entah dari jarak berapa meter aku sudah mengerem, karena kecepatanku sendiri sudah tidak tahu berapa saat itu hingga suara rem yang beradu dengan aspal membuat decitan yg memekik.

Dalam sepersekian detik itu, aku menyesal. Pikiranku dengan cepat berloncatan. Apakah ini waktunya? Apakah yang akan terjadi setelah ini? Bagaimana kemungkinan terburuknya? Apakah aku akan terpental ke kanan, lalu akan terlambat dan datang ke kantor dengan luka ringan? Atau justru aku tidak akan sempat lagi memikirkan presensi jam 8 itu? Ah, sudah lupa dengan presensi, aku malah terbayang wajah ayah. Betapa tidak sopannya aku meninggalkan beliau di depan rumah tanpa pamit terlebih dahulu, betapa rugi aku jika pagi itu aku celaka karena kebodohanku sendiri, betapa menyesalnya aku pergi dalam keadaan marah dan tidak mengendalikan diri terlebih dahulu. Aku takut, sungguh aku takut. Sepersekian detik itu membuatku menyadari kehadiranNya. Sejak awal aku tidak mengingatNya, tidak seperti perjalananku berkendara selama ini, yang bergantung dan berharap padaNya karena aku belum lancar mengendarai motor.

Dalam sepersekian detik itu, ternyata motorku berhenti tepat dihadapan truk berwarna kuning itu. Entah apa yang terjadi jika truk itu tetap melaju, atau aku terlambat menarik rem. Tetapi motorku tidak berhenti lama, langsung berjalan lagi melewati truk dan motor di depanku itu setelah aku menyadari bahwa aku terhimpit diantara keduanya. Aku tercekat. Aku tidak bisa mengurutkan mana yang terjadi terlebih dahulu, pikiranku tentang aku akan jatuh atau aku yang melihat truk di kiriku, atau aku melihat motorku sudah melewati kedua kendaraan itu, sangat sangat sekejap dan mendebarkan. Akhirnya kesadaranku mengambil alih dengan cepat, motor melaju melewati perempatan terakhir dan belok dengan lenggang ke halaman kantorku.

Pagi itu kujatuhkan diri di mushola kantor dan menangis dengan tenang dalam sholat dhuha.

Entah apa yang kuadukan pada Allah, tapi saat itu rasanya seperti bergetar. Seakan telah melewati kekecewaan-penyesalan-kehimpitan-dan pertolongan pada waktu yang kurang dari 8 menit. Sudah jelas aku terlambat sampai kantor, tetapi ternyata jam menunjukkan pukul 08.01 wib. Meskipun hanya 1 menit, tetap saja aku terlambat. Tetapi aku juga terheran-heran, bisa bisanya melalui perjalanan yang biasanya 13–15 menit, pagi ini kulalui dengan waktu kurang dari 5-8 menit.

Kuceritakan ini pada grup teman dekatku saat aku benar-benar masih bergetar setelah turun dari motor. Saat itu mereka menanggapinya dengan sedikit tawa, tetapi ketika kuceritakan semuanya, mereka memintaku untuk tenangkan diri.

Siangnya, aku muram di kantor. Lebih banyak merenung dan berjalan pelan. Jika Allah tidak menolongku pagi tadi, apa berita yang didapat kantorku tentangku?

Teman magangku, dia menambahkan bahwa mungkin itu terjadi karena aku belum membaca doa ketika berangkat. Kuluapkan keresahan dan penyesalanku tentang sikapku yang salah pada ayah, ketergesaanku yang membuat orang lain bisa jadi celaka karena aku. Kukatakan bahwa aku sempat dihantui rasa bersalah karena bisa jadi ada yang celaka karena aku cepat-cepat dalam mengendarai, bisa jadi ada yang mengerem tiba-tiba dan dia menjadi celaka karena aku. Bisa jadi orang-orang merutukiku saat itu dan tidak ridho atasku. Ah sungguh aku tidak enak atas perasaan itu. Dan temanku menenangkan dengan mengatakan hal itu tidak akan banyak diingat, semoga tidak terjadi sesuatu yang membahayakan orang lain tadi.

Ah.. rasanya aku kali ini setuju dengan slogan “Lebih baik pelan asal selamat”.

Dan lalu sorenya.. seperti biasa aku sudah selesai mengendalikan perasaanku pada ayah. Dan aku kembali lagi menjadi anak gadisnya yang penurut dan menjalani hari dengan patuh. Setelah mengirim pesan maaf padanya karena sudah terburu-buru tadi pagi. Sungguh berat sekali rasanya untuk bermain perasaan seperti ini, apalagi dengan sosok yang begitu dekat di hati. Tetapi akan lebih menyakitkan jika aku ceritakan apa yang terjadi pagi tadi. Bukan karena akan dimarahi, tetapi bisa jadi ayah akan merasa bersalah telah memakai motorku dan meninggalkan motor yang tidak bisa kugunakan untuk ke kantor, hingga aku akan telat karenanya dan karena itu pula aku ngebut.

Beberapa waktu setelahnya, aku menyadari bahwa sepertinya bukan perihal terlambat atau tidaknya yang aku permasalahkan. Namun perihal janji dan perkataan yang sudah kupegang saat itu. Perihal kekecewaan dan tidak ingin lagi berharap pada ucapan manusia. Pun juga, dimasa ketika kita dihadapkan dengan sesuatu yang tidak bisa kita kelola saat itu, menepilah. Jangan terus dilanjutkan. Jangan membuat keputusan. Atau selamanya kamu akan menyesalinya.

--

--

Invisible Adventure
Invisible Adventure

Written by Invisible Adventure

0 Followers

read more, know more

No responses yet