Tenggelam
Aku tidak akan lupa bagaimana caranya menatapku saat itu, memperhatikan aku dengan Kak J. Ah.. iya, aku sangat lengket dengan Kak J setelah kami berada dalam lingkaran rutinitas yang sama itu. Kak J kuanggap kakak sekaligus adik, karena posturnya sangat nyaman dipeluk, lebih kecil dariku.
Hari masih siang, ketika kami panitia yang tidak mendapat job untuk menjaga peserta, bersantai di bibir pantai pulau tak berpenghuni itu. Beberapa asyik duduk-duduk bercerita, bermain ayunan rajut berwarna putih, atau mengambil kesempatan untuk bersih-bersih di kamar mandi. Selepas sholat di atas alas rumah kayu itu, sengaja kudekati Kak J, menikmati kebersamaan dengannya. Kami berbicara entah kemana kaki membawa, menyusuri spot-spot menarik dari pinggiran pantai dengan pasir putih itu.
Kupancing teman bicaraku untuk bercerita lebih banyak dan lebih dalam. Hingga ia menceritakan apa yang ada dalam pikirannya, apa yang tengah ia timbang. Hingga aku menceritakan tentang resahku, tentang berubahnya sudut pandangku pada seseorang. Ketika aku menyadari seseorang yang kupikirkan baik ternyata melakukan hal yang sebaliknya, tepat di depan mataku. Meruntuhkan ekspektasi yang lama sekali kubangun tentangnya. Kuceritakan bahwa aku sama sekali tidak mengira bahwa sosok yang kukenal menjaga diri, ternyata menjaga diri dengan konsep dan definisinya, yang berbeda dengan apa yang aku punya. Hingga perkataan demi perkataan mengalir dari bibir lembut Kak J, yang bagiku adalah kalimat-kalimat menyayat hati. Kalimat yang menjelaskan dengan gamblang, menjawab pertanyaan yang bahkan tidak kutanyakan.
Dia sudah punya pilihan.
Aku tidak bertanya ada siapa di hatinya, atau apakah dia menaruh tujuan pada seseorang. Aku hanya mengatakan bahwa aku kecewa melihatnya,
meskipun dia seperti itu, tetep saja dia manusia ci, bisa salah, nggak bisa berekspektasi, begitu kata Kak J.
Dan mata kita menuju satu sosok yang sama, yang tanpa kita sadari, kedua mata itu sudah menangkap pembicaraan kita dari kejauhan.
Aku kecewa, lebih tepatnya pada diriku sendiri. Bisa-bisanya membiarkan diri menabur garam di atas luka sendiri. Belum. Belum seperih itu. Saat itu rasanya baru saja aku mengetahui dan mengakui bahwa rasaku ternyata sedalam ini. Tapi saat itu juga aku tahu bahwa sedalam apapun rasaku, tujuan dia untuk menepi bukanlah aku.
Di atas jembatan kayu coklat yang menjorok ke laut itu, kubebaskan kakiku mengayun tanpa alas. Kulihat gelombang ombak tipis-tipis membenturkan diri ke tiang-tiang kayu penopang itu. Kugenggam batu, lalu perlahan kulepaskan melalui celah-celah tipis diantara kayu itu, perhalan lepas dari genggamanku dan akhirnya terkena dampak grafitasi, jatuh ke air. Kubiarkan. Kubiarkan rasa ini pergi bersama batu itu sampai ke dasar laut. Biarkan. Biarkan semuanya tersimpan lagi lebih dalam lagi. Bahkan tidak perlu orang-orang tahu, bahwa batu itu pernah ada. Biarkan dia tenggelam menuju dasar laut lebih dalam lagi. Membawa rasaku semakin jauh, semakin gelap, semakin tidak terlihat. Semakin besar rasa itu, maka batu itu semakin berat, lalu semakin pula ia tenggelam perlahan. Biar saja lautan yang luas itu menyimpan semuanya, menjadikannya hanya sebuah benda yang sempat ada. Lalu menjadi kenangan.