Tertabrak
Baru baru ini, aku tertabrak motor. Tabrakan yang tidak keras, dari samping kanan, tapi cukup untuk membuatku terpelanting ke kiri dan tiba tiba sudah ada di atas tanah. Motorku, bagian bawahnya terkena imbasnya, menyisakan retakan retakan menganga.
Kamu tahu, dari kejadian yang sebentar ini, aku menyadari. Pada akhirnya aku menangis. Pada akhirnya, setelah sekian bulan menahan perasaan dan kekesalan atas banyak hal di hati, akhirnya lewat kejadian inilah aku menangis. Tangisan yang kubiarkan pecah dibalik helm yang terpasang di kepala. Perjalanan yang membelah kesunyian jalanan dengan gemuruh dalam dada. Aku benar-benar menangisi diri sendiri. Tangisan itu bukan karena sakitnya badanku yang terpental, tapi karena menyadari bahwa ini teguran dari- Nya. Seakan sudah lama sekali aku tidak memperdulikan diri sendiri, melupakan diri sendiri. Aku harus kembali, dan mungkin inilah saatnya. Tabrakan itu membuatku berhenti, seperti memberhentikan aku atas pikiranku sendiri.
Menata lagi semuanya, semuanya. Meluruskan lagi yang benar, memberi bobot pada setiap hal dengan adil. Agar tidak hilang siapa dirimu yang sebenarnya.
Sudah cukup aku terlalu terbuka selama ini, mencoba ramah dan ekspresif. Nyatanya, itu semua menguras diriku. Aku lebih nyaman menjadi seseorang yang berjarak. Berjarak tetapi menghangatkan.