Tiga Hari Yang Menentukan
Binar.
Aku sudah mengatakannya. Di antara berbagai keraguanku, aku kembali padanya. Kubulatkan niat dan kukatakan bahwa aku akan datang,. Aku akan datang..
***
Bening.
Dia datang ber mil-mil jauhnya, membawa penuh perasaan dan harapan. Menghabiskan waktu dan mengarungi samudra untuk bertemu denganku. Saat itu entahlah, begitu membuncah haru dan kembali mengingatkanku pada masa-masa kebersamaan kami yang menyenangkan. Namun, dia membawa sesuatu yang tidak biasa.
Terselip rencana dalam hatinya dan ingin segera ia nyatakan, tetapi aku tahu bahwa membuka kenyataan akan menyakitinya cepat atau lambat.
Di bibir pantai itu, kubiarkan dia mendengarkan apa yang aku ingin dia dengar. Agar kujawab pertanyaannya tanpa perlu ia bertanya. Tapi sungguh, telaga dalam matanya menyiratkan luka. Dia termangu, lalu menanyakan satu nama. Kujawab nama itu, nama yang mungkin akan menyakitinya.
Lalu dia tersenyum, berpura-pura ikut bahagia. Dan memintaku untuk mendengar ceritanya.
***
Binar.
Aku hanya punya waktu yang singkat untuk membawanya kembali. Entah apa yang menggerakkanku, tetapi jarak dan birunya ombak bukan lagi sebuah masalah yang perlu kucemaskan. Empat jam dalam pesawat itu sungguh waktu terlama dalam hidup, dalam pikiran, dalam penentuan tindakan yang terasa sulit.
Aku baru menghubunginya tadi malam, mengatakan bahwa aku akan datang. Aku tahu, sesibuk apapun, dia pasti akan menyempatkan. Apalagi tidak biasanya perjalananku ini kulakukan.
Apakah harus dengan bertemu ? Apakah cukup dengan hanya membawa diri ? Pusing sekali pikiranku dibuat olehnya.
Tapi pagi itu, semua keraguan sirna. Dia menyambutku dengan senyuman sehangat mentari, sama seperti dulu. Lalu kami menghabiskan seperempat hari yang melelahkan di atas perahu kapal yang membawa kami ke kepulauan tempatnya mengabdi. Indah, bersyukurnya dia menjalani pengabdian ini. Hari itu hari pertamaku menginjakkan kaki di kota pelabuhan ini. Tapi kuharap kota ini akan menjadi tempatnya menjawab pertanyaanku. Kubaringkan tubuh di sisi kasur, membiarkan tirai jendela sedikit terbuka untuk menyaksikan menara mercusuar yang berdiri gagah diterpa ombak. Sisa hariku ditutup dengan istirahat yang nyaman di ruang penginapan, untuk mempersiapkan diriku mendengar jawabannya besok.
Hari kedua, di kota pelabuhan. Bau ikan segar segera tercium ketika dia mengajakku menyusuri kota tempatnya mengabdi. Kami menyusuri jalan-jalan di samping pantai yang sepi dan terik ini, sebelum menyaksikan keriuhan pelabuhan di sisi lainnya ketika menuju senja. Aku tahu, aku hanya mengulur waktu untuk mengatakannya. Tetapi binar matanya seakan mengatakan bahwa dia belum siap mendengarkanku bicara. Sepanjang hari dia berulang kali menceritakan kejadian lucu yang kita miliki. Betapa bahagianya dirinya dengan pertemuan kami yang tidak terduga. Betapa menjadi kenangan yang indah ketika banyak hal yang membuat kami terikat. Tetapi aku tahu, dia tidak akan menyinggung tentang perasaannya.
Di penghujung sore, dengan semangatnya dia membawaku ke tempat yang dia inginkan. Bibir pantai dikala senja. Secepat ini kah ? Tapi memang waktuku terbatas. Kukatakan padanya bahwa kehadiranku di kota ini hanya 3 hari lamanya. Itu artinya, hanya tersisa 1 hari dari sekarang. Dia mengangguk dengan berat setelah bertanya bermacam-macam alasan. Belum sempat kujawab semuanya karena aku tahu ini akan mengubah segalanya, saat saat yang menentukan..
***
Bening.
Semuanya menjadi sulit. Aku hanya menatap mentari yang perlahan tenggelam di batas laut, sama sekali tidak menyadari bahwa pantai yang selama ini begitu indah ternyata menjadi tempat yang membuatku kelu hari ini. Bibirku kelu ketika dia mengatakan hendak menjadikanku teman hidup. Sepertinya ini mimpi yang terjawab di waktu yang tidak tepat. Atau bagaimanalah ? Hanya tiga hari dia datang, tiga hari yang menentukan..
Semuanya menjadi bising. Kepalaku sebising kemacetan ibu kota!
***
Binar.
Nama itu terucap, sungguh. Aku mengenalnya. Seseorang yang sudah ada di antara kami sejak lama. Seseorang yang kami kenal dan kami percaya. Ternyata benar, sosok itu adalah sosok yang kulihat pada tanggal satu bulan lima itu. Sosok yang sudah terlebih dahulu memberanikan diri meminta dirinya pada ayahnya. Bukan hanya nama, dia mengenalkanku pada mimpi, cerita, dan rencana hidupnya setelah seseorang itu datang. Menceritakannya seakan aku masih dan akan selalu menjadi teman berbagi yang menyenangkan, seperti masa kuliah dulu. Terasa sakit sungguh, tetapi lebih membahagiakan melihat tawanya ketika cerita itu mengalir dari bibirnya daripada melihatnya termenung ketika mendengarkanku. Ketika aku menceritakan mimpi, niat dan rencana hidup yang kubuat dengan subjek utamanya adalah dirinya.
Lalu kubiarkan panorama senja itu berakhir dengan pikiran kami masing-masing. Waktuku terbatas.. aku akan terima apapun pilihannya.
***
Bening.
Sebuah pesan singkat muncul di layar ponselku, menunjukkan namanya. Nama yang selama ini sudah kuhapus dari harapanku, namun tidak pernah hilang dari doa yang ku langitkan. Terakhir kami berbincang, dia katakan padaku bahwa dia akan menyatakan niat baik pada seseorang di bulan ke lima pada tanggal satu. Sungguh, ketika hari itu tiba aku tidak bisa tenang. Aku yang selama ini tidak mengerti ikatan yang menjaring di antara kita, akhirnya paham bahwa ikatan ini hanyalah sebuah pertemanan. Karena di hari itu, dia tidak datang. Dia tidak menyatakan apapun padaku. Itu artinya orang yang dia maksud bukanlah aku. Ah iya, sudah jelas selama ini aku hanya teman baginya. Cukup sudah. Berbulan-bulan kudiamkan pertanyaan orang lain yang memintaku pada ayahku, hanya untuk memastikan pada bulan lima tanggal satu itu apakah dia akan datang. Akhir tahun itu akhirnya kuakhiri penantian jawaban yang kusimpan itu. Akhir tahun itu dengan lugas kukatakan pada ayah, bahwa aku menerima permintaan itu. Sekaligus bersedia untuk menutup harapan dengannya. Namun malam ini, ketika dengan tergesa-gesanya ia datang menuju kotaku berdiam, kusadari bahwa ada sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang membawanya datang.
Isi pesannya lebih membuatku terkejut, ia bilang akan menyatakan sesuatu yang tertunda. Ah, apakah selama ini aku salah memahami semuanya?
***
Binar.
Ternyata aku terlambat. Aku sungguh terlambat. Ternyata berat sekali mendengar kenyataan yang terucap darinya. Ternyata berat sekali ketika kubiarkan dia mendengar niatku padanya, nyatanya dia kehilangan senyumnya. Aku tahu, ini pasti mengejutkan baginya. Memang salahku, ini semua salahku yang tidak bisa dengan cepat mendefinisikan bentuk rasa padanya. Membuatku maju dan mundur, mengulur waktu. Nyatanya, aku selalu kembali padanya. Maafkan aku Bening, maafkan aku. Masih adakah kesempatan itu?
***
Hari ketiga pertemuan. Di bawah pohon kelapa yang teduh dan tenang.
“Aku kira kau sudah menemukan orang yang tepat di tanggal satu bulan lima itu, Binar. Bukankah rencanamu seperti itu?” Kalimat pertama Bening setelah cerita panjang Binar berakhir.
“Ahad itu aku memang datang, bersama ibu. Tetapi rumah itu sudah ramai, mobil berjajar rapi dan pintu terbuka lebar. Aku masih di dalam mobil ketika seseorang keluar dari pintu jati itu, ayahmu mengantarnya hingga halaman depan dan belasan menit kemudian rombongan itu berlalu.” Binar menjelaskan.
“Ayahku?” Alis Bening kian mengkerut.
“Bening, kulihat seseorang itu mirip sekali dengan teman kita. Teman yang selalu kau bilang keren dan mengagumkan. Aku tidak jadi mengetuk pintu rumahmu. Bahkan mengendarai mobil pun menjadi sulit sekali bagiku setelahnya. Ibu menemaniku saat itu. Ibu bilang, ketuk saja dulu. Tapi aku tidak berani menerima penolakan. Aku pulang Bening, pulang dalam keadaan hampa.” Binar tergugu menjelaskan. Hari itu Binar merasa terlambat.
“Lalu mengapa saat ini kau datang dan mengutarakan ini semua dihadapanku?” Bening semakin ingin menguntai penjelasan.
“Karena aku tahu kau belum menentukan Bening. Dan aku tidak mau terlambat untuk kedua kalinya. Bening, teman kita itu mengatakan padaku bahwa kau belum menjawab dirinya. Bahkan kemarin kuberanikan diri untuk bertanya padanya langsung setelah nama itu kau ucapkan, namun ia memberiku jawaban yang tidak kumengerti. Dia bilang belum mendapatkan respon darimu, apa itu benar Bening?” Pertanyaan Binar yang panjang itu dijawab dengan anggukan. Bening memang sudah mengatakan akan mengiyakan permintaan seseorang itu pada ayahnya, tetapi Bening ingin mengatakan sendiri pada sosok itu. Dan nyatanya, hingga tahun berganti tidak ada progres yang berarti dari Bening. Bening masih menahan jawabannya.
“Mengapa tidak kau iyakan? Bukankah tidak ada kekurangan dari dirinya?” Akhirnya Binar menatap Bening dengan kesungguhan.
“Meskipun aku sudah menutup lembar harapan padamu, meskipun aku senang ada seseorang yang datang padaku, meskipun aku bersedia membuat mimpi dan cita-cita baru setelah seseorang itu datang, sejujurnya aku belum mengiyakan. Ayah sebenarnya kaget ketika rombongan itu datang, sungguh tiba-tiba. Bahkan tidak ada aku di rumah. Namun keputusan kembali padaku.” Binar menahan suaranya yang terdengar begitu berat.
“Karena hatiku berkata, kau akan datang. Aku hanya perlu menunggu hatimu menyadari bahwa aku tidak pernah pergi” Bening menjawab dengan lugas, membuat Binar tergelak. Perempuan dihadapannya itu, ternyata tidak pernah ragu padanya.
“Sejak kapan Bening?” Pada akhirnya Binar sampai pada pertanyaan itu.
Namun Bening tahu jawabannya, jawaban yang dia persiapkan sejak lama “Sejak aku mengenalmu.”
Maka hari ini, hari ketiga di kota pelabuhan ini, Binar tahu jawabannya.
“Kamu tahu, mengapa aku hanya tiga hari disini?” pertanyaan yang dijawab dengan gelengan kepala.
“Karena besok pesawat akan membawaku untuk bertemu ayahmu.”
:)
Binar dan Bening. Antara keraguan dan kesungguhan. Memastikan rasa memang menyulitkan. Tetapi semua akan terjawab dengan keberanian. Atau semua akan terbayar dengan kerelaan setelah melepaskan.
Pulau X, Kota Pelabuhan.
Fiktif ini tu.