Uban Ibunda
“Teh, liat deh rambut mama udah banyak yang putih, hihihi”.
Ayah memang memanggilku begitu. Teteh adalah panggilan untuk anak perempuan, kakak perempuan dari adikku. Tanah sunda begitu mengajarkan kelembutan. Suara ayah terdengar dengan gelak tawanya yang khas. Tangannya teracung diudara, terarah pada ibu yang duduk di kursi di sebelahnya. Yang ditunjuk memerah pipinya, matanya bergerak cepat ke kana dan kiri, tanda-tanda yang biasa terlihat jika ibu sedang gugup.
Ayah masih cekikikan, terlebih ketika melihat ekspresi ibu yang sedang malu sembari memegang rambutnya. Ayah memang selalu menjadi pencair suasana dalam ruang tengah kami yang hangat.
“Belum jadi nenek tapi udah banyak rambut putih tuh, lihat teh banyak gitu.” Ayah tidak berhenti menggoda ibu.
“Biarin.. Ayah juga belum jadi kakek udah ompong giginya, hihihi. Kemana itu gigi kok hilang?” giliran ibu kali ini menjawab gurauan ayah. Ruangan semakin dipenuhi gelak tawa, tanpa terkecuali tawa ayah yang semakin besar.
Ayah selalu tahu bagaimana membuat ibu tertawa, dan ibu memang selalu bisa menjawab gurauan ayah dengan hal yang lebih lucu. Wajah ayah menunjukkan bahwa memang itulah tujuannya bergurau, untuk kembali diguraukan oleh ibu.
Tapi dialog sederhana itu benar, rambut ibu sudah memutih. Kini lebih banyak dari sebelumnya. Gigi ayah sudah terlepas satu persatu. Meskipun mereka masih dalam rentang usia 40 hingga 50an tahun, setidaknya itu tanda bahwa mereka sudah menua. Di tengah tawa itu aku tertegun. Melihat perubahan perlahan ini membuatku merasa tidak akan lama untuk melihat rambut ibu memutih seluruhnya, atau melihat ayah sudah tidak bisa makan makanan yang keras. Seakan waktu berlalu begitu cepat, seakan tidak ada jeda bagiku berpikir bahwa aku sudah berjalan sampai sejauh ini.
Di antara tawa membahagiakan itu, hatiku kelu. Bisakah aku melihat mereka menua? Mampukah aku untuk melihat mereka semakin tidak berdaya? Bahkan setiap mendengar keluh mereka sepulang kerja tentang badannya yang kian digerogoti penyakit umur saja aku tak kuasa meresponnya.
Saat itu benar-benar ingin kupeluk mereka erat-erat. Tetapi bagaimanalah? dua hati itu tengah berbahagia, apa iya aku mampu menunjukkan air mataku di depan mereka?
Hanya satu yang ingin kupinta pada-Nya, agar Ia mengabadikan kasih sayang ini. Semoga Allah mengumpulkan kami kembali di surga-Nya, mengumpulkan kami sekeluarga dengan lengkap, tidak ada yang terpisahkan, tidak ada yang berpisah di akhirat. Aku sungguh tidak bisa membalas semua yang mereka berikan, tetapi aku ingin menjadi seseorang yang mengangkat tanganku untuk memohonkan ampun untuk mereka.
“.. Dan tidak dipanjangkan umur seseorang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (Sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuz). Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Fatir ayat 11“.. Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada awal kejadian(nya). Maka mengapa mereka tidak mengerti?” -kembali menjadi lemah dan kurang akal, seperti anak kecil.
Yasin ayat 68
Tetapi kini, di malam yang tenang diantara malam-malam dengan derasnya hujan berhari-hari kemarin, bercanda seperti ini adalah sesuatu yang menghangatkan. Terkumpulnya cinta, terpautnya hati. Tangisku kusimpan baik-baik dalam senyuman bahagia, doaku kupanjatkan dan kubisikkan pada Rabb yang Maha Mendengar, Maha Menyaksikan.
“Belum kakek-kakek tapi giginya udah ilang hiii. Nanti di nikahan teteh pakai gigi palsu aja yah!”
“Sudah sudah bu,” kini tawaku lebih keras lagi.
#30DWCJilid28
#Day10