Untuk pertama kalinya
Dia empat tahun diatasku. Itu artinya dia berusia 27 tahun. Lelaki usia seperti itu, kira-kira memikirkan apa?
Untuk pertama kalinya, aku takut.
Aku, anak bawang baru lulus kuliah. Baru mengenal dunia kerja seumur jagung. Masih terkaget-kaget melihat banyak kakak tingkat yang sudah menikah, tetapi sekaligus ingin segera “menemukan”. Ya.. memang berhenti di “menemukan”.
Untuk pertama kalinya, aku takut.
Ketika seseorang itu memperlakukanku sangat sopan, sangat menjaga pandangan, sangat baik sikapnya, namun bisa-bisanya begitu cair pada orang lain didepan mataku.
Ketika seseorang itu menunjukkan perilaku bahwa dia adalah seseorang yang “sedang mencari”. Ah sungguh aku takut, caranya bersikap seakan-akan menunjukkan dia sungkan sekaligus segan. Padahal sungguh, aku ingin sekali berteman dengan “tenang”.
Untuk pertama kalinya, aku takut.
Ketika dia bersenandung lagu tentang pernikahan, seakan liriknya adalah isi hatinya. Ah tolong, semua perempuan memang giri rasa, tetapi sepertinya aku tidak cukup bodoh untuk membedakan mana yang berbeda.
Ketika dia menatap dengan tatapan yang fokus, justru aku yang bergetar.
Untuk pertama kalinya, aku melihat seorang laki-laki tidak main-main.
Sepertinya dia memang sudah dewasa.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak ingin main-main berbicara tentang itu. Tidak ingin lagi menganggap topik ini adalah hal pengisi obrolan yang bisa dibawa dalam candaan. Aku takut..
Semua ini menunjukkan bahwa aku sepertinya tidak sesiap yang kukira, aku punya banyak list yg sedang dipersiapkan. termasuk mempelajari cara menolak paling halus.
Tapi boleh kuakui, caranya mendekat memang tepat. Menyapa sedikit, melihat responku-yang seperti biasa akan selalu dingin menanggapi kedekatan yang tidak alami, dan lalu mengulur, membiarkan diri tetap misterius. Itu lebih membuatku mencari segala hal tentangnya, daripada cara-cara kuno seperti selalu menjawab story, “hadir” dalam perbincangan dan chat, atau bahkan sok perhatian pada hal-hal yang kecil.
Sosok ini hadir, mungkin untuk membuat pemikiranku semakin utuh. Tentang mempertimbangkan seseorang. Ada indikator dan weighting khusus yang kudesain untuk menentukannya memang. Dan itu.. sangat spesial, sekaligus dilema.
Setidaknya, ketika mulai berpikir ke arah sana, saat ini aku lebih realistis. melihat potensi ketidakharmonisan jika ada “gap” yang terlalu besar. mungkin dalam hal sosial, pendidikan, ekonomi, dan yang lebih utama dalam hal agama.
Kukira jatuh cinta bisa pada siapa saja, tetapi semakin dewasa, dunia semakin tidak adil bagi orang-orang yang tidak mendapat kesempatan yang sama di masa lalu. Tidak bisa menutup mata dari fakta ini, tentang betapa realistis jika memikirkan pendapatan, kebutuhan ekonomi. Bukan.. bukan karena matrealistis dan kebutuhan duniawi yang tidak akan pernah habis. Bukan juga tentang gap jenjang pendidikan, bukan karena malu dan gengsi, atau juga perbedaan pemahaman agama, bukan pilih-pilih (ya kalo yg ini sih emang krusial), tetapi ini tentang memberi kesempatan kepada anak atau calon anak nanti. Meskipun bukan segalanya, tetapi nyatanya menyakitkan menjadi anak yang menyaksikan perbedaan dari kedua orang tuanya. Jadi mungkin benar, sepadan lebih menenangkan.
Tapi setidaknya, terimakasih untuk seseorang berusia 27 tahun itu. Membuatku menyadari bahwa ini sudah menjadi realita di depan mata.